Petualanganku ke Dunia Kuliner Berawal dari Ibu



Hemmm wewangiannya benar-benar lezat. Wewangian manis gula merah dan harum pandan menguar dari dapur. Aku juga dekati sumber wewangian, ingin tahu dengan yang sedang dibikin oleh ibu.


Di dapur, ibu repot mengaduk-aduk suatu hal di panci lebar dan besar dengan pengaduk kayu. Suatu hal dalam tempat itu masih keluarkan uap.


"Membuat apa, Ma?" Saya menanyakan sekalian hidungku lagi mereguk wewangian manis lezat ini.


Ibu menjawab dia sedang membuat kue wajik. Kue wajik ini dibuat dari beras ketan dan gula merah. Sesudah masak dan tercampur rata, baru selanjutnya ditempatkan di loyang dan didinginkan. Sesudahnya baru dipotongi.


Saya menunggu dan asyik melihat ibu tuangkan adonan. Dia selanjutnya mengijinkanku mencicip adonan yang masih ada dalam panci besar. Rasa-rasanya benar-benar manis dan nikmat.


Ibu dan nenek dahulu senang membuat sendiri kue-kue untuk acara kenduri. Umumnya bude dan tante ikut juga menolong jika acaranya menyertakan keluarga besar.


Oh saya senang sekali temani ibu mengolah kue-kue ini. Ibu dan nenek dengan sabar menunjukkanku langkah membuat.


Umumnya untuk kenduri, kue-kuenya kombinasi jajan tradisionil dan kue-kue kekinian. Ibu memperlihatkan kepadaku langkah membuat kue-kue seperti wajik. Untuk wajik, ada dua tipe yang umum dibikin ibu dan nenek. Ada wajik cokelat dari gula merah dan wajik warna kehijauan beraroma pandan dengan bahan warna dari daun pandan suji.


Kue-kue yang lain salah satunya ada kue sawut dari singkong yang diparut digabung gula merah, kue nagasari yang isinya ada pisang, kelepon dengan isian gula merah, dan kue cucur dari tepung beras dan gula merah.


Sedang untuk kue kekinian, ibu senang sekali membuat bolu kukus, cake karamel alias kue sarang semut, dan bermacam puding. Saya senang sekali menolongnya. Rasa-rasanya membahagiakan, seperti bermain masak-masakan, tetapi hasilnya betul-betul dapat dikonsumsi.


Waktu kecil saya lebih senang membuat kue,tetapi saat besar malahan lebih senang masakan

Ibu Mengajarkanku Mengenali Kulineran Nusantara

Jika ditanyakan, apa sekolah dari ibu yang kukenang, tentu saja ialah mengolah dan belajar mengenali dunia kulineran. Semenjak kecil ibu memberikan pengalaman dan wacana begitu menakjubkannya seni mengolah. Dia jadi guru dan kepala sekolah mengolah di dalam rumah.


Masakan itu punyai kemampuan ajaib. Dia dapat membuat orang berbahagia, suka, geram, atau malahan jatuh hati. Masakan itu yang dapat membuat kalian rindu dengan seorang atau desa halaman.


Ibu dahulu senang sekali mengolah soto. Favoritnya soto ayam

Ibu memperkenalkanku dengan dunia kulineran semenjak saya masih belia. Saya ingat saat pulang sekolah semenjak duduk di kursi taman kanak-kanak, ibu ajakku menolongnya mengolah. Dia mengajariku dari langkah yang gampang seperti menuai sayur, kupas telur rebus, dan merusak telur dengan elok.


Saat saya telah masuk sekolah landasan, baru ibu mengenalkanku dengan pisau dan alat tolong yang lain. Saya lupa waktu itu kelas berapakah. Ibu dengan berhati-hati menunjukkanku langkah mengiris tempe, merajang sayur, dan kupas wortel.


Dia mengajariku langkah memarut kelapa dan menguleg bumbu. Oh saya tidak senang sekali memarut dan menguleg bumbu. Tetapi saya senang memukul-mukul daging hingga lebih empuk dan gepeng untuk diolah ala-ala empal atau gepuk.


Akhirnya sepulang sekolah waktu saya masih TK dan SD, saya punyai aktivitas hebat bersama ibu, mempersiapkan masakan untuk makan siang kami. Sampai kelas dua SD, saya pulang saat sebelum jam 12 siang, hingga sempat menolong ibu mengolah. Seputar jam 12 melalui kakak-kakakku juga tiba, kami selanjutnya makan siang bersama. Tetapi bila saya terburu lapar, ibu membolehkanku makan terlebih dahulu.


sederhana untuk bermain over under Sebab kerap menolong ibu mengolah, pengetahuanku mengenai kulineran lumayan luas semenjak masih belia. Saya tahu mengenai rawon, soto, pecel, telur bumbu Bali, bermacam sambal, dan bermacam tipe kue tradisionil semenjak masih duduk di kursi taman kanak-kanak. Saya bisa membandingkan beberapa makanan itu, walau tidak dapat mengolahnya.


Mujur ibu dan ayah berawal dari suku berlainan. Ibu murni Jawa Timur dan ayah berdarah Sunda. Dari Ibu, saya mengenali kulineran Jawa dan makanan kekinian. Sedang dari wilayah ayah, saya mengenali karedog, bermacam tipe lahapan, kue koci, dan ada banyak kembali.


Dahulu ibu kerap ajakku belanja ke pasar tradisionil. Menurutku pasar ialah lokasi yang unik dan semarak. Benar-benar tempatnya tidak sebersih dan serapi di mal, tetapi pasar lebih dari itu. Dia tarik.


Umumnya ibu ajakku ke sisi daging sapi. Sang penjual akan menanyakan ingin daging rawon dengan tetelan atau daging yang tiada gajih alias lemak. Ibu senang mengolah rawon dan semur, hingga dia pilih tetelan. Harga lebih dapat dijangkau. Saya senang sekali menyaksikan sang penjual membuntel dagingnya dengan daun jati.


Ibu membuatku ingin tahu dengan asal mula satu masakan

Lalu ibu akan ke arah bakul bumbu. Saya tidak senang dengan tempatnya, gelap, dan berasa sesak. Tetapi kata ibu, penjual itu langganannya. Dia beli keluwek dan bermacam bumbu yang lain. Saya senang ingin tahu dengan keluwek, sebab dia warna abu-abu dan keras. Cangkangnya harus diperpecahkan dahulu supaya ibu memperoleh pasta hitamnya. Terkadang ada keluwek yang buruk dan pahit. Dari penjual itu, ibu kerap mendapatkan keluwek yang bermutu.


Ibu tidak beli ayam dan ikan sebab dia lebih senang membeli langsung di mlijo yang setiap hari berkeliling-keliling ke gang kami. Mlijo ini bawa dagangannya dengan tempat dibuat dari bambu yang besar dan lebar. Ibu punyai berlangganan dua mlijo. Seputar tahun 2000-an mlijo ini mulai lenyap diganti tukang sayur dengan gerobaknya.


Sesudah beli ini itu, baru ibu berkunjung ke penjual bubur campur. Berikut sisi pasar yang paling kusukai. Di sana ada seorang mbah dan di depannya ada tempat-wadah bening sarat dengan isian yang menarik. Ada ketan hitam, grendul alias biji salak, bubur mutiara, dan bubur sum-sum. Grendulnya itu paling nikmat, saya tidak pernah kembali mendapati grendul semacam itu. Dia berbentuk kotak-kotak kecil kecokelatan dengan tingkat kemanisan yang cocok. Bubur sum-sum dipadukan dengan grendul ialah satu kepuasan.


Sekolah mengolah dari ibu belum usai, saya lagi latihan. Ibu membuatku mempunyai hoby baru yakni mengkliping resep olahan. Mataku langsung ijo bila menyaksikan ada resep olahan di koran atau buku mengolah yang harga tidak mahal di rack buku Gramedia.


Dari majalah Femina, koran Jawa Pos,dan buku resep Gramedia, saya mulai mengetahui nasi goreng itu bermacam

Karena ibu saya jadi gandrung dengan dunia kulineran. Ibu sekolah pertama kaliku di bagian kulineran. Sampai sekarang ini saya masih ingin tahu bagaimana dahulu leluhur dapat mengetahui langkah mengolah rawon, bagaimana ia paham bumbu ini dapat membuat masakan ini itu menjadi lezat. Kulineran itu dunia yang luas dan tarik.


Masakan itu punyai kekuatan mengagumkan. Coba melahap masakan favoritmu pada periode kecil dan rasai saluran emosi mengucur dalam diri kamu.



Hemmm wewangiannya benar-benar lezat. Wewangian manis gula merah dan harum pandan menguar dari dapur. Aku juga dekati sumber wewangian, ingin tahu dengan yang sedang dibikin oleh ibu.


Di dapur, ibu repot mengaduk-aduk suatu hal di panci lebar dan besar dengan pengaduk kayu. Suatu hal dalam tempat itu masih keluarkan uap.


"Membuat apa, Ma?" Saya menanyakan sekalian hidungku lagi mereguk wewangian manis lezat ini.


Ibu menjawab dia sedang membuat kue wajik. Kue wajik ini dibuat dari beras ketan dan gula merah. Sesudah masak dan tercampur rata, baru selanjutnya ditempatkan di loyang dan didinginkan. Sesudahnya baru dipotongi.


Saya menunggu dan asyik melihat ibu tuangkan adonan. Dia selanjutnya mengijinkanku mencicip adonan yang masih ada dalam panci besar. Rasa-rasanya benar-benar manis dan nikmat.


Ibu dan nenek dahulu senang membuat sendiri kue-kue untuk acara kenduri. Umumnya bude dan tante ikut juga menolong jika acaranya menyertakan keluarga besar.


Oh saya senang sekali temani ibu mengolah kue-kue ini. Ibu dan nenek dengan sabar menunjukkanku langkah membuat.


Umumnya untuk kenduri, kue-kuenya kombinasi jajan tradisionil dan kue-kue kekinian. Ibu memperlihatkan kepadaku langkah membuat kue-kue seperti wajik. Untuk wajik, ada dua tipe yang umum dibikin ibu dan nenek. Ada wajik cokelat dari gula merah dan wajik warna kehijauan beraroma pandan dengan bahan warna dari daun pandan suji.


Kue-kue yang lain salah satunya ada kue sawut dari singkong yang diparut digabung gula merah, kue nagasari yang isinya ada pisang, kelepon dengan isian gula merah, dan kue cucur dari tepung beras dan gula merah.


Sedang untuk kue kekinian, ibu senang sekali membuat bolu kukus, cake karamel alias kue sarang semut, dan bermacam puding. Saya senang sekali menolongnya. Rasa-rasanya membahagiakan, seperti bermain masak-masakan, tetapi hasilnya betul-betul dapat dikonsumsi.


Waktu kecil saya lebih senang membuat kue,tetapi saat besar malahan lebih senang masakan

Ibu Mengajarkanku Mengenali Kulineran Nusantara

Jika ditanyakan, apa sekolah dari ibu yang kukenang, tentu saja ialah mengolah dan belajar mengenali dunia kulineran. Semenjak kecil ibu memberikan pengalaman dan wacana begitu menakjubkannya seni mengolah. Dia jadi guru dan kepala sekolah mengolah di dalam rumah.


Masakan itu punyai kemampuan ajaib. Dia dapat membuat orang berbahagia, suka, geram, atau malahan jatuh hati. Masakan itu yang dapat membuat kalian rindu dengan seorang atau desa halaman.


Ibu dahulu senang sekali mengolah soto. Favoritnya soto ayam

Ibu memperkenalkanku dengan dunia kulineran semenjak saya masih belia. Saya ingat saat pulang sekolah semenjak duduk di kursi taman kanak-kanak, ibu ajakku menolongnya mengolah. Dia mengajariku dari langkah yang gampang seperti menuai sayur, kupas telur rebus, dan merusak telur dengan elok.


Saat saya telah masuk sekolah landasan, baru ibu mengenalkanku dengan pisau dan alat tolong yang lain. Saya lupa waktu itu kelas berapakah. Ibu dengan berhati-hati menunjukkanku langkah mengiris tempe, merajang sayur, dan kupas wortel.


Dia mengajariku langkah memarut kelapa dan menguleg bumbu. Oh saya tidak senang sekali memarut dan menguleg bumbu. Tetapi saya senang memukul-mukul daging hingga lebih empuk dan gepeng untuk diolah ala-ala empal atau gepuk.


Akhirnya sepulang sekolah waktu saya masih TK dan SD, saya punyai aktivitas hebat bersama ibu, mempersiapkan masakan untuk makan siang kami. Sampai kelas dua SD, saya pulang saat sebelum jam 12 siang, hingga sempat menolong ibu mengolah. Seputar jam 12 melalui kakak-kakakku juga tiba, kami selanjutnya makan siang bersama. Tetapi bila saya terburu lapar, ibu membolehkanku makan terlebih dahulu.


Sebab kerap menolong ibu mengolah, pengetahuanku mengenai kulineran lumayan luas semenjak masih belia. Saya tahu mengenai rawon, soto, pecel, telur bumbu Bali, bermacam sambal, dan bermacam tipe kue tradisionil semenjak masih duduk di kursi taman kanak-kanak. Saya bisa membandingkan beberapa makanan itu, walau tidak dapat mengolahnya.


Mujur ibu dan ayah berawal dari suku berlainan. Ibu murni Jawa Timur dan ayah berdarah Sunda. Dari Ibu, saya mengenali kulineran Jawa dan makanan kekinian. Sedang dari wilayah ayah, saya mengenali karedog, bermacam tipe lahapan, kue koci, dan ada banyak kembali.


Dahulu ibu kerap ajakku belanja ke pasar tradisionil. Menurutku pasar ialah lokasi yang unik dan semarak. Benar-benar tempatnya tidak sebersih dan serapi di mal, tetapi pasar lebih dari itu. Dia tarik.


Umumnya ibu ajakku ke sisi daging sapi. Sang penjual akan menanyakan ingin daging rawon dengan tetelan atau daging yang tiada gajih alias lemak. Ibu senang mengolah rawon dan semur, hingga dia pilih tetelan. Harga lebih dapat dijangkau. Saya senang sekali menyaksikan sang penjual membuntel dagingnya dengan daun jati.


Ibu membuatku ingin tahu dengan asal mula satu masakan

Lalu ibu akan ke arah bakul bumbu. Saya tidak senang dengan tempatnya, gelap, dan berasa sesak. Tetapi kata ibu, penjual itu langganannya. Dia beli keluwek dan bermacam bumbu yang lain. Saya senang ingin tahu dengan keluwek, sebab dia warna abu-abu dan keras. Cangkangnya harus diperpecahkan dahulu supaya ibu memperoleh pasta hitamnya. Terkadang ada keluwek yang buruk dan pahit. Dari penjual itu, ibu kerap mendapatkan keluwek yang bermutu.


Ibu tidak beli ayam dan ikan sebab dia lebih senang membeli langsung di mlijo yang setiap hari berkeliling-keliling ke gang kami. Mlijo ini bawa dagangannya dengan tempat dibuat dari bambu yang besar dan lebar. Ibu punyai berlangganan dua mlijo. Seputar tahun 2000-an mlijo ini mulai lenyap diganti tukang sayur dengan gerobaknya.


Sesudah beli ini itu, baru ibu berkunjung ke penjual bubur campur. Berikut sisi pasar yang paling kusukai. Di sana ada seorang mbah dan di depannya ada tempat-wadah bening sarat dengan isian yang menarik. Ada ketan hitam, grendul alias biji salak, bubur mutiara, dan bubur sum-sum. Grendulnya itu paling nikmat, saya tidak pernah kembali mendapati grendul semacam itu. Dia berbentuk kotak-kotak kecil kecokelatan dengan tingkat kemanisan yang cocok. Bubur sum-sum dipadukan dengan grendul ialah satu kepuasan.


Sekolah mengolah dari ibu belum usai, saya lagi latihan. Ibu membuatku mempunyai hoby baru yakni mengkliping resep olahan. Mataku langsung ijo bila menyaksikan ada resep olahan di koran atau buku mengolah yang harga tidak mahal di rack buku Gramedia.


Dari majalah Femina, koran Jawa Pos,dan buku resep Gramedia, saya mulai mengetahui nasi goreng itu bermacam

Karena ibu saya jadi gandrung dengan dunia kulineran. Ibu sekolah pertama kaliku di bagian kulineran. Sampai sekarang ini saya masih ingin tahu bagaimana dahulu leluhur dapat mengetahui langkah mengolah rawon, bagaimana ia paham bumbu ini dapat membuat masakan ini itu menjadi lezat. Kulineran itu dunia yang luas dan tarik.


Masakan itu punyai kekuatan mengagumkan. Coba melahap masakan favoritmu pada periode kecil dan rasai saluran emosi mengucur dalam diri kamu.



Mga sikat na post sa blog na ito

Waging the milk price war

SMALL TOWNS MAY BE GREEN BUT UNHEALTHY

The Mavericks, seminar finalists in 2022, took a 12-point top in the very initial fifty percent however the